Bumi Manusia : Pram
Panggil saya Ucok, cukup itu saja dulu, sampai kemudian saya layak menurut mereka atau siap secara pribadi memikul nama keluarga. Saya pribumi, inlander, bukan totok, bukan juga indo. Artinya: saya tidak seganteng Brad Pitt, sama sekali tidak. Mengerti, Sinyo, apa itu ganteng? Sosok manusia dengan proporsi tulang dibalut daging yang pas. Untuk mempermudah, olehkarenanya saya bawa-bawa Brad Pitt. Bukan teman bukan juga sahabat pena, hanya sebuah nama yang sudah menjadi sassus wanita-wanita di Bumi Manusia sejak dulu. Dulu, tidak harus berarti saya membawa waktu ke periode negara masih bernama Hindia Belanda. Tepatnya, dulu adalah waktu saya masih sekolah di Technische Hooge School.
"Sudah lupa kau dengan tatakrama Batak, Cok?"
"Tidak, Amang," kali ini rasanya sulit untuk melakukan ajaran Juffrouw Magda Peters bahwa saya harus memandang lawan bicara, supaya mengerti sedalam-dalamnya maksud pembicara. Tapi dengan Bapak, tidak, saya sama sekali tidak mampu.
"Tamu yg barusan itu Tulang mu. Jangan kau perlakukan dia seperti teman! Selalu tempatkan Tulang di akhir kalimat sebagai penghormatan. Apa artinya kamu sekolah tinggi kalau lupa adat"
"Sahaya, Amang"
"Terus ... masih kau berhubungan dengan wanita Sunda itu?"
Dengan tamu baru kenal yang kebetulan semarga dengan mama saja saya diharuskan menggunakan kata ganti Tulang, kenapa Kokom jadi wanita Sunda? Ingin sekali saya berteriak: namanya Kokom Karta, Bapak, namanya Kokom Karta. Belum seharmal kembali ke rumah ini, Bapak lagi-lagi ngatur dengan siapa saya seharusnya berpacaran, agar tidak berkepanjangan saya jawab, "Tidak, Amang"
"Bagus. Sekarang mari makan. Masih makan babi, kau?"
- cukup -
Di atas adalah cerita rekaan saya, boleh dikata saya berusaha nyama-nyamain isi dan gaya menulis Pramoedya Ananta Toer di Bumi Manusia. Saya serasa dibawa ke jaman Hindia Belanda dengan kaca mata merek Minke. Mengagumi Nyai Ontosoroh yang seolah-olah ada. Annellis yang manja dengan polemik jiwa yang sungguh membuat ku berairmata.
"Sudah lupa kau dengan tatakrama Batak, Cok?"
"Tidak, Amang," kali ini rasanya sulit untuk melakukan ajaran Juffrouw Magda Peters bahwa saya harus memandang lawan bicara, supaya mengerti sedalam-dalamnya maksud pembicara. Tapi dengan Bapak, tidak, saya sama sekali tidak mampu.
"Tamu yg barusan itu Tulang mu. Jangan kau perlakukan dia seperti teman! Selalu tempatkan Tulang di akhir kalimat sebagai penghormatan. Apa artinya kamu sekolah tinggi kalau lupa adat"
"Sahaya, Amang"
"Terus ... masih kau berhubungan dengan wanita Sunda itu?"
Dengan tamu baru kenal yang kebetulan semarga dengan mama saja saya diharuskan menggunakan kata ganti Tulang, kenapa Kokom jadi wanita Sunda? Ingin sekali saya berteriak: namanya Kokom Karta, Bapak, namanya Kokom Karta. Belum seharmal kembali ke rumah ini, Bapak lagi-lagi ngatur dengan siapa saya seharusnya berpacaran, agar tidak berkepanjangan saya jawab, "Tidak, Amang"
"Bagus. Sekarang mari makan. Masih makan babi, kau?"
- cukup -
Di atas adalah cerita rekaan saya, boleh dikata saya berusaha nyama-nyamain isi dan gaya menulis Pramoedya Ananta Toer di Bumi Manusia. Saya serasa dibawa ke jaman Hindia Belanda dengan kaca mata merek Minke. Mengagumi Nyai Ontosoroh yang seolah-olah ada. Annellis yang manja dengan polemik jiwa yang sungguh membuat ku berairmata.