Wednesday, February 09, 2005

Subject: Re:



Pernah ngerasain denyat-denyut 'ujungnya nggak jelas tapi enak gila' sebuah peselingkuhan?
Pernah punya persoalan yg kalo dipikir-pikir persoalan tersebut malah menjadi semakin rumit karena 'dipikir-pikir'?
Pernah gombal gambel pemilihan kalimat imel supaya enak dibaca, yg akhirnya diendapin jadi draft karena 'kok nggak pas-pas yah kalimat gua'?
Pernah ngerasain bedanya pelampiasan perasaan lewat texting dan tatap-muka?
Kalo jawabannya pernah, dijamin senyam-senyum dan bersadar-sadar-ria ngikutin alur cerita di buku ini, sebuah kumpulan log chatting dan imel-imel Nina dan Yudha yg mampu mambangun sebuah kisah.

Thursday, February 03, 2005

Gold Rush

Minggu kemarin, selama delapan hari saya kerja di sebuah reserch center yg letaknya lumayan jauh dari Fukuoka. Adapun untuk menggapai lokasi reserch center tsb, saya harus terbang ke Tokyo, kemudian ganti bis selama kurang lebih 2 jam. Buat saya kunjungan ke tempat tsb bukan kali yg pertama, tapi buat temen kerja saya, itu adalah yang pertama kalinya. Sampai suatu ketika, kami menemukan sebuah pub yg diberi nama Gold Rush. Secara kita adalah kuli-kuli yg bisanya cuman gali menggali tanah untuk menghasilkan sebuah profit. Gold Rush terasa thrilling untuk dicoba, dengan harapan suguhan di dalamnya bisa membuat kita happy layaknya menemukan bongkahan emas.

Akhirnya kita masuk ke dalam pub, ngobrol dan berusaha mencari tahu tentang istilah Gold Rush lewat display-display dan tulisan yg memang disediakan di dalam pub tersebut. Pubnya lumayan cozy, bagian depannya ada patung Indian, dengan interior dalam klasik serasa berada di jaman koboi. Here's what we found about Gold Rush. Gold Rush adalah sebuah era sekitar tahun 1840-an di California. Ceritanya dimulai dengan seorang tukang kebun yg secara tidak sengaja menemukan bongkahan emas di sungai amerika(?). Penemuan tersebut menyebar ke seantero Amerika, yg consequently menghasilkan ekspansi besar-besaran orang-orang dari bagian timur Amerika masuk ke California. It's 1849, olehkarenanya orang-orang tersebut mendapat julukan the 49ers. Jalur paling mudah yg in fact katanya 'nggak mudah juga' bagi the fortyniners memasuki California adalah berlayar berputar melewati Amerika Selatan, yg menghabiskan waktu lebih dari 6 bulan. Baru kemudian muncul alternatif untuk menembus celah Panama, yang padahal sebelumnya celah Panama ini ditakuti karena hutannya yg rentan menjangkiti penyakit malaria.

Seru ngikutin cerita Gold Rush ini. Bayangin koboi-koboi yg minta ijin sama istrinya untuk ngadu nasib di California terus pulang-pulang jadi orang-kaya-baru. Ngikutin gimana cerdiknya orang-orang yg nggak ikut nambang, tapi malah manjadi orang-orang yg meraup duit lebih banyak (baca: pengusaha daging/butcher, hotel dan hiburan/bordil, jasa sekuritas, alat berat, dan lain-lain). Ada yg pake Levi's? Fyi, Levi Strauss yg sekarang jadi world fashion itu, ternyata nama tukang jahit yg awal-awalnya nyediain bahan kanvas bagi tukang gali di era Gold Rush. Pernah nanya darimana angka 49 untuk NFL San Francisco 49ers? Tahun 1849, San Francisco yg notebene bagian dari California berubah menjadi ramai karena Gold Rush ini juga. Lebih seru lagi, ternyata California menjadi negara bagian, katanya diinisisiasi Gold Rush ini juga. Yg berakhir sedih karena menjadi cikal bakalnya civil war. Samuel Clemens alias Mark Twain yg terkenal dengan The Adventures of Huckleberry Finn (tuh bukunya masih ada di rak saya) pun ternyata salah seorang the fortyniners.

Ngalor ngidul. Cerita yg mirip dengan Gold Rush sebenarnya banyak ditemui juga di tanah air. Bagaimana orang berbondong-bondong mencari emas di gunung Pongkor. Bagaimana sebuah new civilization tercipta di Soroako karena nikelnya, Sangatta karena batubaranya, Tembagapura karena tembaganya, dan banyak lagi tempat-tempat lainnya. Tapi sayang, secara umum semua itu tetap tidak bisa membawa negara kita menjadi lebih baik. Kompleks memang, tapi yg pasti: sebuah anugerah akan dapat dengan mudah berubah menjadi kutukan bila kita tidak pandai-pandai mengelolanya.