Wednesday, October 20, 2004

Sempai vs Kohai

Pernah denger kata Sempai dan Kohai? Yg pernah ikutan beladiri judo, mungkin kata-kata tersebut sudah tidak asing. Sempai artinya Senior. Kohai artinya Junior. Istilah Sempai dan Kohai ini akan sangat terasa bilamana anda bekerja di sebuah perusahaan ato belajar di perguruan tinggi. Intinya bilamana anda seorang sempai, yakinlah bahwasanya anda akan mandapatkan perlakuan lebih (lebih dihormati, lebih didenger, lebih ditanggap). Dan junior nggak pernah malu-malu memperkenalkan anda sebagai Sempai ke semua orang, even usia anda sebenernya lebih muda. Kasarnya, usia boleh lebih muda, tapi kalo posisinya mengharuskan seseorang menjadi sempai, "mau nggak mau" yg lebih tua harus nunduk lebih dalam.

Istilah Sempai-Kohai ini dibawa juga sampai ke kehidupan luar pekerjaan. Misalnya dalam jamuan makan, si Kohai musti nyadar menuang sake kepada mereka yg lebih tinggi (baca: sebagai tanda penghormatan). Nah saat ini, sedang beredar sebuah film menceritakan sepasang sahabat yg dipertemukan lagi di dunia kerja, dimana yg satu jabatannya lebih tinggi dibanding yg satunya lagi. Yang menarik, si Kohai tidak membawa hirarkis Sempai-Kohai sampai ke luar pekerjaan (lawong sahabat gitu loh! teman cela-mencela kali, dulu), padahal si Kohai digambarkan di film tersebut masih sangat memegang teguh pola kehidupan yg so Japanese.

Saya saat ini tidak sedang mencari pembenaran penerapan Sempai-Kohai ini. Karena memang solusinya gampang, iya pake logika saja. Tapi seru juga kali yah, kalo saya membiasakan diri nunduk 90 derajat ke Junior saya, biar si Junior bingung nunduk sampai ke tanah hehehe.

Friday, October 01, 2004

Selamat jalan Teto

Barusan di airport, secara nggak sengaja ketemu temen yg hendak back for good ke tanah air. Sebelum ke tanah air, mereka sekeluarga akan bertamasya di Tokyo, karena sang orang tua berkeinginan untuk memberikan sebuah impresi tak terlupakan kepada si anak semata wayang 'pernah mengunjungi Tokyo Disney Land', at least. Padahal, berdasarkan pengalaman pribadi, sepertinya tidak ada tuh yg terekam di memori under 4 years old. Tapi itu bagus untuk pertumbuhan! Karena hidup adalah sebuah rantai, sebuah pengalaman secara bersambungan akan mempengaruhi rantai-rantai selanjutnya. Si anak semata wayang ini biasa memanggilku Om Gandos, jangan tanya kenapa, saya pun tidak tahu. For sure if his parents keep telling him about myself, yang ngapain juga! hehe, mungkin suatu saat bertemu lagi, anak ini akan tetap memanggilku dgn nick yg sama. Kalo tidak, dan ini yg paling mungkin terjadi, yah I will recall this boy's memory.

Nah, masih ada hubungannya dgn memberikan impresi tak terlupakan kapada anak. Seiring dgn Jepun yg terkenal dengan elektroniknya, yg namanya handycam, hampir semua org Indo di Fukuoka memilikinya. Benerrrrr. Yg saya amati, kebanyakan dari mereka punya handycam adalah untuk mengabadikan saat-saat penting anak-anaknya. Dan katanya, salah seorang rekan di sini ada yg punya koleksi DVD anaknya yg bisa bercerita mulai dari prosesi lahir, bisa merangkak, bisa jalan dan lain-lain. Ditambah embel-embel luar negeri, iya itu bagus, karena memori anak kecil masih on-off, and let the moving scene recalls their memory.

Terus ada cerita nih. Once, sebuah sekolah bikin upacara kenaikan kelas, iya di sini di Jepun, hampir semua ibu-ibu kita Kartini heboh bawa handycam untuk mengabadikan anak-anak mereka yg baru naik kelas. Buat saya, membayangkan kejadian ini lucu, karena yg bercerita adalah seorang ibu yg anaknya ikut acara tsb dan kebetulan belum punya handycam hehehe kesannya jadi celoteh curhat gituh hehehe. Dasar si-ibu-belum-punya-handycam-ini orangnya asik, saya tertawa (baca: tidak menyelami perasaannya) dibalas dengan, "Ihhhhh kok ketawa sih, aku jitak nih aku jitak." Ehhh si Ibu balesnya kaya sama pacar beginih hahaha "Kita senasib nggak punya handycam kok Bu". Dan ketika si Ibu bertanya mengapa saya belum punya handycam juga. Jawaban saya, "Selain nggak punya doku, ngapain juga saya beli handycam. Sayang nanti handycam-nya kalo dipake ngabadiin pohon Sakura doanggg hehehe."

Teto, nama si anak semata wayang mengakhiri percakapan kita di airport dengan kalimat terpatah-patah, "Om Gandos ... Om Gandos ... nanti kalo pulang ke In do ne sia ... main ke Pondok Bambu yah".