Adalah seorang pemuda, nyata di antara negeri dongeng. Katanya dia terbuat dari tanah, jangan tanya bagaimana akhirnya menjadi daging dan bersuara. Karena proses penempaannya hanya diketahui dan akan selalu menjadi rahasia Sang Alkemis, anggap dongeng di Kitab Kejadian, itu saja dulu.
Katanya lagi, bila saatnya pemuda itu mati, dia akan kembali menjadi tanah, bukan dongeng. Tapi ternyata anak kecil lebih pandai untuk bisa mengerti yg awalnya dongeng akan selalu berakhiran dongeng, yg suatu waktu bertanya kepada saya, "Bagaimana seandainya pemuda itu dibekukan sekian ratus tahun lamanya seperti di film Demolition Man, apakah akan menjadi tanah?" Saya menyerah, jadi biarlah untuk satu kali ini saya mengikuti pola fikir mereka-yang-layak-menghuni-kerajaan-surga, untuk mengawali cerita ini,
jadi, seperti inilah kisahnya: Adalah seorang pemuda, nyata di antara negeri dongeng.
Pemuda itu hidup nyata dalam dimensi bumi, air, angin dan api, yang oleh waktu pemuda itu diajari untuk melihat, mendengar, mencium, meraba dan mengecap. Pada suatu waktu, pemuda itu bertulang menemukan sebuah pohon berbuah satu, yg baru di jamannya. Pertama, dia perhatikan buahnya dengan seksama, "Indah", desisnya. Kedua, dia dekatkan kupingnya, "Ah seperti pohon lainnya, tidak bersuara," keluhnya. Ketiga dia dekatkan hidungnya, "Harum," senyumnya. Keempat dia petik buah itu dan meraba permukaannya, "Halus," desisnya. Kelima, pada saat dia akan menggigit buah itu seketika itu pula langit yg awalnya biru berubah menjadi gelap, terbelah, burung gagak berhamburan. “Omen!”, dia berseru, sekaligus gundah untuk tidak berkeinginan mengartikannya sebagai sesuatu yg buruk. Buah yg kemudian disebut Apel di jaman sekarang itu, tidak jadi dia makan melainkan disimpannya.
Saat malam tiba, pemuda itu kembali memandang, mencium dan meraba buah Apel itu, berkali-kali sampai terlelap, untuk kemudian bermimpi berada dalam rumah beratap, bercinta dengan mahluk serupa tapi tak sama yg memanggilnya Sayang, mendengar tawa mahluk-mahluk kecil serupa tapi tak sama yg memanggilnya Papa. Pemuda itu terbangunkan oleh angin yg bertiup kencang, sesaat katanya, "Siapa mahluk-mahluk barusan? Siapa saya?" Ketika dia hendak berdiri, buah Apel terlepas dari genggamannya dan jatuh ke tanah, dalam tidurnya ternyata masih memegang Apel tersebut, "Akankah ini jawaban atas mimpi itu?" Kembali pemuda itu masuk ke pergumulan antara memakan buah Apel itu atau membuangnya. Kembali menimang-nimang antara cukup menjalani hidup seperti biasanya atau harus memakannya dengan harapan bisa menjawab mimpinya dan ketakutan Omen yg mungkin berarti buruk berarti buah beracun yg dapat mengembalikan wujudnya manjadi tanah lagi.
Di kejauhan, gerombolan burung sedang mematuk biji-bijian yg terserak di tanah, pemuda itu melempar buah Apel itu ke dalam serakan biji-bijian tersebut. Seekor burung mematuknya kemudian terbang. Pemuda itu mengejarnya, memantaunya untuk mengetahui pengaruh patukannya. Pertama, burung itu hinggap di ranting rendah, ketika pemuda itu mendekat, burung itu menjauh terbang ke dahan di atasnya. Pemuda itu memanjat, tapi kemudian burung itu kembali terbang ke ranting berikutnya. Pemuda itu memanjat dan memanjat lagi tapi burung itu terbang dan terbang lagi sampai pucuk tertinggi, untuk kemudian terbang ke kejauhan. Pemuda itu merasa menemukan jawabannya, "Burung barusan masih bugar setelah memakan buah Apel itu," gumamnya. Dia kembali ke tempat asal untuk memungut buah Apel yg sempat dilemparnya dan berkehendak mencicipi. Tapi sayang, pemuda itu lupa bahwa banyak burung di situ yg telah mamatuknya dan menyisakan hanya bijinya saja.
Masih dengan harapan, pemuda itu menanam biji Apel tersebut, giat menyirami, agar tumbuh subur dan suatu waktu bisa menikmati buahnya. Iya, pemuda itu bisa menikmatinya, bukan hanya sekali tapi berkali-kali karena untuk setiap Apel yg dia makan, bijinya dia tanam lagi, masih dengan harapan salah satunya berkhasiat mewujudkan mimpi. Tapi sayang hanya Apel yg pertama lah yg berkhasiat mewujudkan mimpi setiap mahluk yg memakannya, karena katanya, itu adalah hasil ciptaan Sang Alkemis. Akhirnya, pemuda itu hidup menyendiri sampai akhir khayat, tidak pernah bisa bercinta dengan mahluk sejenis seperti dalam mimpinya, tidak juga bisa mendengar tertawaan mahluk-mahluk kecil dalam mimpinya. Sementara burung-burung yg mematuk Apel pertama ciptaan Sang Alkemis, hidup berkoloni di langit berubah menjadi bintang-bintang. Mimpi burung-burung itu adalah
ternyata keabadian, terbang di langit teratas, tapi masih terlihat dari permukaan bumi.
Akhir dongeng, saya bertanya kepada anak-anak, "Pilih yg mana? Jadi pemuda itu atau burung-burung yg menemukan keabadian?" Seorang gadis cilik menjawab, "Saya ingin menjadi burung dan menjadi bintang" Tapi
eh ada seorang anak, yg sedari tadi saya perhatikan sangat serius mengikuti cerita saya, seperti ini selorohannya, "
Argh mana enak jadi bintang, mending jadi pemuda itu, punya kebun Apel" hehehe Life is in the journey not the destination, for sure, lad!
Posting-an ini saya buat setelah baca The Alchemist – Paolo Coelho, di bagian buku itu saya tulis: Bila Tuhan berkehendak saya punya anak, buku ini untuk mereka … Tsukuba, 13.08.06