Imajinasi itu nakal
Saya suka Da Vinci Code, sama sukanya ketika membaca Angels and Demons. Dan Brown pinter mengaitkan sesuatu yg fenomenal, mengkritisi dan mengolahnya menjadi sebuah cerita. Cerita, iya cerita mati dimana kita secara alamiah dipaksa untuk menjadikannya hidup, bergambar di pikiran kita masing-masing, yg kemudian disebut imajinasi. Sudah tentu, harus ada yg menginisisasi pikiran sehingga imajinasi terbentuk, dalam konteks novel ada uraian kalimat. Ada penulis yg membuat uraian nJelimet lengkap, tapi ada juga yg mengurai dalam batasan tertentu membiarkan pembaca berimajinasi liar. Saya nggak bisa sebut uraian yg mana yg bagus untuk pembaca, dua-duanya akan menjadi bagus menurut konteks cerita. Maaf, kenal Any Arrow? Stensilan porno yg biasanya dijual di terminal? Nah, uraiannya sangat sangatlah lengkap. Yang pasti penulisnya bukan Any Arrow, bisa jadi anda? Hehehe
Bagaimana jadinya kalau Da Vinci Code diuraikan sangat detil? Yang ada pembaca didikte dan mungkin akan sedikit membosankan. Pernah ngebayangin Robert Langdon seperti apa? Meski di Da Vinci Code tidak digambarkan secara tersurat, saya yakin setiap pembaca punya gambaran masing-masing. Khaki? Kemeja kotak-kotak? Sepatu coklat? Apa lagi? Kalau baca Angels and Demons, penggambaran seorang Robert Langdon musti ditambah berbadan atletis karena renang 50 laps setiap hari. Saya, anda, kita pembaca dipaksa menggambar seorang Robert Langdon, penggambarannya akan berbeda antara saya dengan anda dan pembaca lainnya. Itu tidak lain karena kita masing-masing punya layar yg berbeda-beda, yg katanya ilmu psikologi, layar itu adalah gabungan antara pengalaman dan pengharapan.
Kenapa saya kepikiran nulis ini, karena tadi pagi saya lihat di televisi, klip film the Da Vinci Code, Tom Hanks jadi Robert Langdon. Sesuai imajinasi kah seorang Robert Langdon diperankan oleh Tom Hanks? For me, masa bodo! hehehe sayah mah cuman pembaca, pemirsa, penonton yg tidak punya kekuatan untuk memaksa sang sutradara mencari figur yg pernah saya imajinasikan ketika membaca the Da Vinci Code. Yg pasti, dengan munculnya film tersebut, muncul realita. Penggambaran the Da Vinci Code menjadi seolah-olah nyata, bergerak, hidup, tidak ada lagi imajinasi. Penonton dipaksa melihat begini plotnya, seperti ini orangnya, seperti ini cryptex-nya, dan seperti ini seperti itu lainnya. Saya teramat yakin, bila film ini beredar, komentar yg akan banyak muncul adalah hubungan antara novel dan film. Filmnya tidak sebagus novelnya lah, atau mungkin, banyak yg tertulis di novel tapi tidak ada di filmnya lah, atau mungkin juga muncul komentar Robert Langdon nggak cocok diperanin Tom Hanks, mustinya Mathias Muchus hahaha again, for me, masa bodo!
Imajinasi itu nakal, sekali lagi saya tulis, imajinasi itu nakal, nakal yg kadang bisa mengelabui diri sendiri. Dalam imajinasi, kita menciptakan seribu satu skenario sesuai pengharapan. Sayangnya, pengharapan tidak bisa lepas dari realita. Maka dari itu, bersiap-siaplah wahai kawan-kawan, ketika kita punya imajinasi, ketika kita punya pengharapan, sebelum itu berbenturan dengan realita, untuk bersama-sama meneriakkan masa bodo! hehehe
Bagaimana jadinya kalau Da Vinci Code diuraikan sangat detil? Yang ada pembaca didikte dan mungkin akan sedikit membosankan. Pernah ngebayangin Robert Langdon seperti apa? Meski di Da Vinci Code tidak digambarkan secara tersurat, saya yakin setiap pembaca punya gambaran masing-masing. Khaki? Kemeja kotak-kotak? Sepatu coklat? Apa lagi? Kalau baca Angels and Demons, penggambaran seorang Robert Langdon musti ditambah berbadan atletis karena renang 50 laps setiap hari. Saya, anda, kita pembaca dipaksa menggambar seorang Robert Langdon, penggambarannya akan berbeda antara saya dengan anda dan pembaca lainnya. Itu tidak lain karena kita masing-masing punya layar yg berbeda-beda, yg katanya ilmu psikologi, layar itu adalah gabungan antara pengalaman dan pengharapan.
Kenapa saya kepikiran nulis ini, karena tadi pagi saya lihat di televisi, klip film the Da Vinci Code, Tom Hanks jadi Robert Langdon. Sesuai imajinasi kah seorang Robert Langdon diperankan oleh Tom Hanks? For me, masa bodo! hehehe sayah mah cuman pembaca, pemirsa, penonton yg tidak punya kekuatan untuk memaksa sang sutradara mencari figur yg pernah saya imajinasikan ketika membaca the Da Vinci Code. Yg pasti, dengan munculnya film tersebut, muncul realita. Penggambaran the Da Vinci Code menjadi seolah-olah nyata, bergerak, hidup, tidak ada lagi imajinasi. Penonton dipaksa melihat begini plotnya, seperti ini orangnya, seperti ini cryptex-nya, dan seperti ini seperti itu lainnya. Saya teramat yakin, bila film ini beredar, komentar yg akan banyak muncul adalah hubungan antara novel dan film. Filmnya tidak sebagus novelnya lah, atau mungkin, banyak yg tertulis di novel tapi tidak ada di filmnya lah, atau mungkin juga muncul komentar Robert Langdon nggak cocok diperanin Tom Hanks, mustinya Mathias Muchus hahaha again, for me, masa bodo!
Imajinasi itu nakal, sekali lagi saya tulis, imajinasi itu nakal, nakal yg kadang bisa mengelabui diri sendiri. Dalam imajinasi, kita menciptakan seribu satu skenario sesuai pengharapan. Sayangnya, pengharapan tidak bisa lepas dari realita. Maka dari itu, bersiap-siaplah wahai kawan-kawan, ketika kita punya imajinasi, ketika kita punya pengharapan, sebelum itu berbenturan dengan realita, untuk bersama-sama meneriakkan masa bodo! hehehe