Bikin Cerita Pendek sangat Pendek ah
"g'dek g'dek g'dek" hampir dua jam sudah aku berada dalam kereta tujuan Eindhoven. Duduk dalam sebuah kompartemen ukuran 1,5 kali 1,5 meter dominasi warna merah, yang hanya ada aku didalamnya. Suasana sepi membuatku ku terus menerawang ke seseorang di bangunan berlantai dua di Eindhoven. Hitam gelap di luar sana, sejenak pandanganku menangkap sebuah sinar lampu, yang dalam hitungan menit semakin redup, redup kemudian perlahan menghilang ditelan kegelapan malam. Sesekali aku gosok kaca jendela yg mulai berembun karena udara panas yg kuhembuskan setiap 3 detik sekali.
"Sretttt", pintu kompartemen seketika ada yg membuka. Kaki kaki yg belum lama memanjang ke kursi depan, secepat kilat aku lipat manis. Seorang perempuan diikuti dua org laki2 di belakangnya memperkenalkan diri sebagai polisi bagian setempat dengan banner yg ditunjukan ke arah ku. Situasi seperti ini pernah membuat ku panik, ketika pertama kali aku naik Euronight Train. Tapi karena ini ketigakalinya, dengan tenang aku keluarkan passport dari kantong leher dan ku sodorkan,
"Bitte ... "
Kemudian perempuan itu membawa passport ku ke lorong, dan menyerahkannya ke laki-laki yg sudah siap dengan laptop. Di lorong aku lihat lelaki itu mulai memasukan beberapa digit, entah angka entah huruf, berdasarkan data yg ada dalam passport. Setelah semuanya clear, melalui tangan perempuan yang sama, aku menerima kembali passport ku dalam keadaan utuh.
"Herrn ... , ein schones Wochenende. Danke viel mahl"
"Bitte schoen", aku pun membalasnya dengan senyuman. Ini menandakan bahwa aku sudah mendekati Linz, kota dimana Hitler dilahirkan. Perbatasan Austria dan Jerman yg dilalui oleh Euronight. Biasanya, jam 1.oo pagi nanti, dimana semua penumpang kebanyakan tertidur lelap, pengecekan yg sama akan dilakukan oleh polisi Jerman. Dan masih ada lagi pengecekan jam 8 pagi ketika kereta memasuki the Netherlands.
Dengan posisi siap tidur, walkman mulai aku pasang. Dengan diiringi kumpulan lagu Badai Pasti Berlalu dari Chrsiye, kereta pun melaju melaju dan melaju.
***
Aku terperanjat dari tidur ketika sinar mentari mulai memasuki kompartemen merah. Tidak aku sadari, ternyata dua orang bule sudah menempati kursi bagian depan.
"Guten morgen"
" Hmmm guten morgen", perlahan aku kembali duduk manis. Aku tengok situasi luar, dan mulai menebak2 dimana saat ini kereta berada. Deutschland kah atau mungkin sudah memasuki negeri Belanda. Tanpa melepaskan senyum ke bule2 di depan ku, aku pun mulai berdiri menjangkau backpack yg tersimpan di atas mereka, menurunkannya, kemudian mengeluarkan sikat gigi, odol dan handuk kecil dari kantung bagian depan. Saat2 yg paling aku nikmati bilamana harus sikat gigi di dalam kereta. Perasaan aman, nyaman dan bersih menyatu menjadi satu, membuat ku merasa berada dalam rumah berjalan. Sebuah pengalaman yg mungkin tidak akan pernah aku rasakan untuk beberapa tahun ke depan di kereta2 PJKA.
Melangkah menuju kamar kecil, kembali aku perhatikan situasi luar "ahhhhh I am in Holland already", rumput hijau terhampar luas, sesekali terlihat sapi sapi merumput, rumah2 mirip di Pengalengan Bandung, membuat ku yakin untuk mengatakan, "yah aku sudah berada di negeri Belanda". Aku pun mulai tersenyum dan tersenyum, karena dalam hitungan kurang dari 3 jam akan menemui Sang Terkasih.
Kereta terus melaju sementara aku sibuk menggosok gigi, "srat sret g'dek g'dek srat sret g'dek g'dek srat sret", bunyi gosokan gigi dan laju kereta mengalun menjadi satu, membawaku terus melaju di atas tanah berpenduduk 17 juta jiwa.
***
"ahhh sial, aku tidak bawa payung", aku pun turun dari kereta sementara hujan rintik meliputi Eindhoven Station. Aku arahkan pandangan menyapu semua sudut stasiun, sampai akhirnya aku temukan lambang telepon di sudut Utara. Berjalan menyusur, berusaha menggapai lokasi telepon umum, aku lihat beberapa toko bunga. Terlintas dalam pikiran ku untuk membeli satu rangkaian bunga untuk Sang Terkasih. "hmmm I don't think so, tidak ada hujan tidak ada angin, rasanya terlalu dibuat-buat bila aku harus membeli bunga".
Dalam dua kali kring telepon diangkat, "Hallo".
"Hallo Tan", aliran suara ku, aku buat senormal mungkin agar dia bisa menebak siapa yg menelapon.
"Haiiii apa kabar?"
"Baik baik. Gimana? Udah baikan badannya?"
"Lumayan tapi sepertinya aku masih harus istirahat. Kamu tahu kan dokter di sini? Aku baru bisa dapet appointment hari Rabu nanti untuk pemeriksaan, dan mungkin aku sudah sembuh. Ehhhh lagi dimana kamu, pagi2 sudah nelpon?"
"Di sini!"
"Di mana? Gimana weekend? Acara dinner dengan Gary-nya gimana?"
"Aku batalkan Tan. Aku lebih milih pergi ke Eindhoven"
"Hahhh jangan becanda kamu!"
"Iya sekarang aku lagi di Eindhoven Station."
"Gila kamu!", kata2 yg entah kenapa selalu membuatku tersenyum saat keluar dari mulutnya everytime she objects my opinion. "Serius! Untuk apa kamu ke sini! Aku kan sudah ngomong, aku lagi sakit! aku nggak suka diurusin! ...", dan bla bla bla lainnya sebagai eksperisi bahwa kedatanganku tidak pada waktu yg tepat.
"Ya sudahlah, aku sudah di sini. Itu pilihan ku. Kalau tidak suka, aku pulang lagi nih! .... Aku pakai bis nomer berapa?", dua kali aku mendatangi stasiun ini, biasanya Tani menjemputku dan sudah menyiapkan sepeda untuk ku, dan itupun tidak pernah langsung menuju apartemen. Setelah memperhatikan dengan seksama arahan darinya, akhirnya aku berangkat menuju bangunan berlantai dua menggunakan bis No. 76.
***
"Kamu tuh gila! Bener bener gila! Untuk apa kamu habiskan uang sebanyak 1200 Schiling, hanya untuk menemui seseorang yang sedang sakit?", kembali dia mendiskusikan kegilaanku sambil menyantap Pizza yg sengaja aku beli di perjalanan.
"Karena aku enggan pulang ke tanah air, tanpa kamu", aku jawab pertanyaannya straightly.
"Sudahlah Don ...untuk apa kita bicarakan tentang itu lagi", ada kegundahan dalam diri Tania. Dia baru saja menyelesaikan studinya sebulan yg lalu dan saat ini sedang gamang memutuskan antara mencari pekerjaan di Belanda atau pulang ke tanah air. Hubungan kita dimulai tiga tahun lalu, ketika aku masih di Bandung dan Tania di Jakarta. Kemudian jarak menjauhkan kita selama dua tahun, ketika Tania harus pergi ke Belanda melanjutkan studinya, sementara aku harus menetap di Bandung. Sampai sebelas bulan yg lalu, aku memperoleh kesempatan penelitian di eropa, jarak kembali mendekat, dan itu harus diakhiri bulan depan.
"Apa yg harus aku perbuat Tan? Aku masih terlalu takut meminangmu. Aku masih belum siap!" Tania dan aku terpaut dua tahun. Dia kakak kelas ku semasa di SMA dulu.
"Doni, my clock is ticking. O o o yah kamu masih ingin ke Amerika. Kamu masih ingin ke Afrika and so on ... sementara aku, aku Don?", potongan Pizza kembali diletakan di meja. "Yakinkan aku! Yakinkan aku bahwa pulang ke tanah air adalah pilihan yg paling baik?"
"Aku hanya berasa capek untuk menjalani hubungan jarak jauh lagi Tan".
"Sudahlah Don. Hampir tiga tahun kita menjalani pacaran jarak jauh, dan baik baik saja toh? Berikan aku kesempatan untuk mencari pengalaman kerja di negeri ini". Tania kembali memakan potongan Pizza-nya.
Aku terdiam. Aku pandangi Tania dengan gigitan2 Pizza-nya. Semakin lama aku memandanginya, semakin aku kagumi ketenangannya. Tania menangkap pandangan mata ku. Sejenak kita terdiam. Aku mulai tersenyum. Dia pun tersenyum. Tumbuh kesadaran ku bahwa aku terlalu egois untuk memintanya pulang sementara aku sendiri belum siap dengan sebuah pernikahan.
***
"G'dek g'dek srat sret g'dek g'dek sret sret". Setelah dua hari di Eindhoven, aku kembali berada dalam Euronight, menikmati kembali gosokan gigi di rumah berjalan. Aku pandangi cermin di hadapan ku dan bertanya, "Sebenarnya apa tujuan ku menyebrangi daratan Jerman kali ini?". Dan pikiranku terbang lagi ke saat2 dimana kita makan Pizza, "Senyuman, senyuman Tania lah yg aku cari"
*** Stop, kehabisan ide ***
"Sretttt", pintu kompartemen seketika ada yg membuka. Kaki kaki yg belum lama memanjang ke kursi depan, secepat kilat aku lipat manis. Seorang perempuan diikuti dua org laki2 di belakangnya memperkenalkan diri sebagai polisi bagian setempat dengan banner yg ditunjukan ke arah ku. Situasi seperti ini pernah membuat ku panik, ketika pertama kali aku naik Euronight Train. Tapi karena ini ketigakalinya, dengan tenang aku keluarkan passport dari kantong leher dan ku sodorkan,
"Bitte ... "
Kemudian perempuan itu membawa passport ku ke lorong, dan menyerahkannya ke laki-laki yg sudah siap dengan laptop. Di lorong aku lihat lelaki itu mulai memasukan beberapa digit, entah angka entah huruf, berdasarkan data yg ada dalam passport. Setelah semuanya clear, melalui tangan perempuan yang sama, aku menerima kembali passport ku dalam keadaan utuh.
"Herrn ... , ein schones Wochenende. Danke viel mahl"
"Bitte schoen", aku pun membalasnya dengan senyuman. Ini menandakan bahwa aku sudah mendekati Linz, kota dimana Hitler dilahirkan. Perbatasan Austria dan Jerman yg dilalui oleh Euronight. Biasanya, jam 1.oo pagi nanti, dimana semua penumpang kebanyakan tertidur lelap, pengecekan yg sama akan dilakukan oleh polisi Jerman. Dan masih ada lagi pengecekan jam 8 pagi ketika kereta memasuki the Netherlands.
Dengan posisi siap tidur, walkman mulai aku pasang. Dengan diiringi kumpulan lagu Badai Pasti Berlalu dari Chrsiye, kereta pun melaju melaju dan melaju.
***
Aku terperanjat dari tidur ketika sinar mentari mulai memasuki kompartemen merah. Tidak aku sadari, ternyata dua orang bule sudah menempati kursi bagian depan.
"Guten morgen"
" Hmmm guten morgen", perlahan aku kembali duduk manis. Aku tengok situasi luar, dan mulai menebak2 dimana saat ini kereta berada. Deutschland kah atau mungkin sudah memasuki negeri Belanda. Tanpa melepaskan senyum ke bule2 di depan ku, aku pun mulai berdiri menjangkau backpack yg tersimpan di atas mereka, menurunkannya, kemudian mengeluarkan sikat gigi, odol dan handuk kecil dari kantung bagian depan. Saat2 yg paling aku nikmati bilamana harus sikat gigi di dalam kereta. Perasaan aman, nyaman dan bersih menyatu menjadi satu, membuat ku merasa berada dalam rumah berjalan. Sebuah pengalaman yg mungkin tidak akan pernah aku rasakan untuk beberapa tahun ke depan di kereta2 PJKA.
Melangkah menuju kamar kecil, kembali aku perhatikan situasi luar "ahhhhh I am in Holland already", rumput hijau terhampar luas, sesekali terlihat sapi sapi merumput, rumah2 mirip di Pengalengan Bandung, membuat ku yakin untuk mengatakan, "yah aku sudah berada di negeri Belanda". Aku pun mulai tersenyum dan tersenyum, karena dalam hitungan kurang dari 3 jam akan menemui Sang Terkasih.
Kereta terus melaju sementara aku sibuk menggosok gigi, "srat sret g'dek g'dek srat sret g'dek g'dek srat sret", bunyi gosokan gigi dan laju kereta mengalun menjadi satu, membawaku terus melaju di atas tanah berpenduduk 17 juta jiwa.
***
"ahhh sial, aku tidak bawa payung", aku pun turun dari kereta sementara hujan rintik meliputi Eindhoven Station. Aku arahkan pandangan menyapu semua sudut stasiun, sampai akhirnya aku temukan lambang telepon di sudut Utara. Berjalan menyusur, berusaha menggapai lokasi telepon umum, aku lihat beberapa toko bunga. Terlintas dalam pikiran ku untuk membeli satu rangkaian bunga untuk Sang Terkasih. "hmmm I don't think so, tidak ada hujan tidak ada angin, rasanya terlalu dibuat-buat bila aku harus membeli bunga".
Dalam dua kali kring telepon diangkat, "Hallo".
"Hallo Tan", aliran suara ku, aku buat senormal mungkin agar dia bisa menebak siapa yg menelapon.
"Haiiii apa kabar?"
"Baik baik. Gimana? Udah baikan badannya?"
"Lumayan tapi sepertinya aku masih harus istirahat. Kamu tahu kan dokter di sini? Aku baru bisa dapet appointment hari Rabu nanti untuk pemeriksaan, dan mungkin aku sudah sembuh. Ehhhh lagi dimana kamu, pagi2 sudah nelpon?"
"Di sini!"
"Di mana? Gimana weekend? Acara dinner dengan Gary-nya gimana?"
"Aku batalkan Tan. Aku lebih milih pergi ke Eindhoven"
"Hahhh jangan becanda kamu!"
"Iya sekarang aku lagi di Eindhoven Station."
"Gila kamu!", kata2 yg entah kenapa selalu membuatku tersenyum saat keluar dari mulutnya everytime she objects my opinion. "Serius! Untuk apa kamu ke sini! Aku kan sudah ngomong, aku lagi sakit! aku nggak suka diurusin! ...", dan bla bla bla lainnya sebagai eksperisi bahwa kedatanganku tidak pada waktu yg tepat.
"Ya sudahlah, aku sudah di sini. Itu pilihan ku. Kalau tidak suka, aku pulang lagi nih! .... Aku pakai bis nomer berapa?", dua kali aku mendatangi stasiun ini, biasanya Tani menjemputku dan sudah menyiapkan sepeda untuk ku, dan itupun tidak pernah langsung menuju apartemen. Setelah memperhatikan dengan seksama arahan darinya, akhirnya aku berangkat menuju bangunan berlantai dua menggunakan bis No. 76.
***
"Kamu tuh gila! Bener bener gila! Untuk apa kamu habiskan uang sebanyak 1200 Schiling, hanya untuk menemui seseorang yang sedang sakit?", kembali dia mendiskusikan kegilaanku sambil menyantap Pizza yg sengaja aku beli di perjalanan.
"Karena aku enggan pulang ke tanah air, tanpa kamu", aku jawab pertanyaannya straightly.
"Sudahlah Don ...untuk apa kita bicarakan tentang itu lagi", ada kegundahan dalam diri Tania. Dia baru saja menyelesaikan studinya sebulan yg lalu dan saat ini sedang gamang memutuskan antara mencari pekerjaan di Belanda atau pulang ke tanah air. Hubungan kita dimulai tiga tahun lalu, ketika aku masih di Bandung dan Tania di Jakarta. Kemudian jarak menjauhkan kita selama dua tahun, ketika Tania harus pergi ke Belanda melanjutkan studinya, sementara aku harus menetap di Bandung. Sampai sebelas bulan yg lalu, aku memperoleh kesempatan penelitian di eropa, jarak kembali mendekat, dan itu harus diakhiri bulan depan.
"Apa yg harus aku perbuat Tan? Aku masih terlalu takut meminangmu. Aku masih belum siap!" Tania dan aku terpaut dua tahun. Dia kakak kelas ku semasa di SMA dulu.
"Doni, my clock is ticking. O o o yah kamu masih ingin ke Amerika. Kamu masih ingin ke Afrika and so on ... sementara aku, aku Don?", potongan Pizza kembali diletakan di meja. "Yakinkan aku! Yakinkan aku bahwa pulang ke tanah air adalah pilihan yg paling baik?"
"Aku hanya berasa capek untuk menjalani hubungan jarak jauh lagi Tan".
"Sudahlah Don. Hampir tiga tahun kita menjalani pacaran jarak jauh, dan baik baik saja toh? Berikan aku kesempatan untuk mencari pengalaman kerja di negeri ini". Tania kembali memakan potongan Pizza-nya.
Aku terdiam. Aku pandangi Tania dengan gigitan2 Pizza-nya. Semakin lama aku memandanginya, semakin aku kagumi ketenangannya. Tania menangkap pandangan mata ku. Sejenak kita terdiam. Aku mulai tersenyum. Dia pun tersenyum. Tumbuh kesadaran ku bahwa aku terlalu egois untuk memintanya pulang sementara aku sendiri belum siap dengan sebuah pernikahan.
***
"G'dek g'dek srat sret g'dek g'dek sret sret". Setelah dua hari di Eindhoven, aku kembali berada dalam Euronight, menikmati kembali gosokan gigi di rumah berjalan. Aku pandangi cermin di hadapan ku dan bertanya, "Sebenarnya apa tujuan ku menyebrangi daratan Jerman kali ini?". Dan pikiranku terbang lagi ke saat2 dimana kita makan Pizza, "Senyuman, senyuman Tania lah yg aku cari"
*** Stop, kehabisan ide ***