Thursday, November 23, 2006

Tetaplah Menari

Dia berputar, di posisi sembilan puluh derajat kepalanya menunduk, asap rokok disekelilingnya menyeruduk seketika ke bagian muka. Sekarang, rambutnya dihempaskan ke udara, matanya terbuka pelan menatap langit-langit, kuning hijau biru merah atau mungkin ada ilusi lainnya yang tidak bisa saya lihat. Dua detik sama dengan delapan ketukan, matanya masih menatap ke atas dalam putaran bola bola. Tangannya mulai mengais, seakan ingin meraih sesuatu. Susah, lelah jangan sekarang kesadaran, mungkin. Bukan itu saja, kakinya seperti bertumpu di atas pegas, yang kanan menekuk yang kiri mengatur keseimbangan, perintah motorik yang ada dan mungkin tidak ada dalam buku panduan les balet. Wajahnya berkeliling mencari sangkaran dan menangkapku seketika. Ada … saya ada di sini, tetaplah menari sampai akhirnya kamu lelah untuk saya papah.

Tuesday, August 15, 2006

The Alchemist : Paolo Coelho

Adalah seorang pemuda, nyata di antara negeri dongeng. Katanya dia terbuat dari tanah, jangan tanya bagaimana akhirnya menjadi daging dan bersuara. Karena proses penempaannya hanya diketahui dan akan selalu menjadi rahasia Sang Alkemis, anggap dongeng di Kitab Kejadian, itu saja dulu. Katanya lagi, bila saatnya pemuda itu mati, dia akan kembali menjadi tanah, bukan dongeng. Tapi ternyata anak kecil lebih pandai untuk bisa mengerti yg awalnya dongeng akan selalu berakhiran dongeng, yg suatu waktu bertanya kepada saya, "Bagaimana seandainya pemuda itu dibekukan sekian ratus tahun lamanya seperti di film Demolition Man, apakah akan menjadi tanah?" Saya menyerah, jadi biarlah untuk satu kali ini saya mengikuti pola fikir mereka-yang-layak-menghuni-kerajaan-surga, untuk mengawali cerita ini, jadi, seperti inilah kisahnya: Adalah seorang pemuda, nyata di antara negeri dongeng.

Pemuda itu hidup nyata dalam dimensi bumi, air, angin dan api, yang oleh waktu pemuda itu diajari untuk melihat, mendengar, mencium, meraba dan mengecap. Pada suatu waktu, pemuda itu bertulang menemukan sebuah pohon berbuah satu, yg baru di jamannya. Pertama, dia perhatikan buahnya dengan seksama, "Indah", desisnya. Kedua, dia dekatkan kupingnya, "Ah seperti pohon lainnya, tidak bersuara," keluhnya. Ketiga dia dekatkan hidungnya, "Harum," senyumnya. Keempat dia petik buah itu dan meraba permukaannya, "Halus," desisnya. Kelima, pada saat dia akan menggigit buah itu seketika itu pula langit yg awalnya biru berubah menjadi gelap, terbelah, burung gagak berhamburan. “Omen!”, dia berseru, sekaligus gundah untuk tidak berkeinginan mengartikannya sebagai sesuatu yg buruk. Buah yg kemudian disebut Apel di jaman sekarang itu, tidak jadi dia makan melainkan disimpannya.

Saat malam tiba, pemuda itu kembali memandang, mencium dan meraba buah Apel itu, berkali-kali sampai terlelap, untuk kemudian bermimpi berada dalam rumah beratap, bercinta dengan mahluk serupa tapi tak sama yg memanggilnya Sayang, mendengar tawa mahluk-mahluk kecil serupa tapi tak sama yg memanggilnya Papa. Pemuda itu terbangunkan oleh angin yg bertiup kencang, sesaat katanya, "Siapa mahluk-mahluk barusan? Siapa saya?" Ketika dia hendak berdiri, buah Apel terlepas dari genggamannya dan jatuh ke tanah, dalam tidurnya ternyata masih memegang Apel tersebut, "Akankah ini jawaban atas mimpi itu?" Kembali pemuda itu masuk ke pergumulan antara memakan buah Apel itu atau membuangnya. Kembali menimang-nimang antara cukup menjalani hidup seperti biasanya atau harus memakannya dengan harapan bisa menjawab mimpinya dan ketakutan Omen yg mungkin berarti buruk berarti buah beracun yg dapat mengembalikan wujudnya manjadi tanah lagi.

Di kejauhan, gerombolan burung sedang mematuk biji-bijian yg terserak di tanah, pemuda itu melempar buah Apel itu ke dalam serakan biji-bijian tersebut. Seekor burung mematuknya kemudian terbang. Pemuda itu mengejarnya, memantaunya untuk mengetahui pengaruh patukannya. Pertama, burung itu hinggap di ranting rendah, ketika pemuda itu mendekat, burung itu menjauh terbang ke dahan di atasnya. Pemuda itu memanjat, tapi kemudian burung itu kembali terbang ke ranting berikutnya. Pemuda itu memanjat dan memanjat lagi tapi burung itu terbang dan terbang lagi sampai pucuk tertinggi, untuk kemudian terbang ke kejauhan. Pemuda itu merasa menemukan jawabannya, "Burung barusan masih bugar setelah memakan buah Apel itu," gumamnya. Dia kembali ke tempat asal untuk memungut buah Apel yg sempat dilemparnya dan berkehendak mencicipi. Tapi sayang, pemuda itu lupa bahwa banyak burung di situ yg telah mamatuknya dan menyisakan hanya bijinya saja.

Masih dengan harapan, pemuda itu menanam biji Apel tersebut, giat menyirami, agar tumbuh subur dan suatu waktu bisa menikmati buahnya. Iya, pemuda itu bisa menikmatinya, bukan hanya sekali tapi berkali-kali karena untuk setiap Apel yg dia makan, bijinya dia tanam lagi, masih dengan harapan salah satunya berkhasiat mewujudkan mimpi. Tapi sayang hanya Apel yg pertama lah yg berkhasiat mewujudkan mimpi setiap mahluk yg memakannya, karena katanya, itu adalah hasil ciptaan Sang Alkemis. Akhirnya, pemuda itu hidup menyendiri sampai akhir khayat, tidak pernah bisa bercinta dengan mahluk sejenis seperti dalam mimpinya, tidak juga bisa mendengar tertawaan mahluk-mahluk kecil dalam mimpinya. Sementara burung-burung yg mematuk Apel pertama ciptaan Sang Alkemis, hidup berkoloni di langit berubah menjadi bintang-bintang. Mimpi burung-burung itu adalah ternyata keabadian, terbang di langit teratas, tapi masih terlihat dari permukaan bumi.

Akhir dongeng, saya bertanya kepada anak-anak, "Pilih yg mana? Jadi pemuda itu atau burung-burung yg menemukan keabadian?" Seorang gadis cilik menjawab, "Saya ingin menjadi burung dan menjadi bintang" Tapi eh ada seorang anak, yg sedari tadi saya perhatikan sangat serius mengikuti cerita saya, seperti ini selorohannya, "Argh mana enak jadi bintang, mending jadi pemuda itu, punya kebun Apel" hehehe Life is in the journey not the destination, for sure, lad!

Posting-an ini saya buat setelah baca The Alchemist – Paolo Coelho, di bagian buku itu saya tulis: Bila Tuhan berkehendak saya punya anak, buku ini untuk mereka … Tsukuba, 13.08.06

Monday, June 05, 2006

Bumi Manusia : Pram

Panggil saya Ucok, cukup itu saja dulu, sampai kemudian saya layak menurut mereka atau siap secara pribadi memikul nama keluarga. Saya pribumi, inlander, bukan totok, bukan juga indo. Artinya: saya tidak seganteng Brad Pitt, sama sekali tidak. Mengerti, Sinyo, apa itu ganteng? Sosok manusia dengan proporsi tulang dibalut daging yang pas. Untuk mempermudah, olehkarenanya saya bawa-bawa Brad Pitt. Bukan teman bukan juga sahabat pena, hanya sebuah nama yang sudah menjadi sassus wanita-wanita di Bumi Manusia sejak dulu. Dulu, tidak harus berarti saya membawa waktu ke periode negara masih bernama Hindia Belanda. Tepatnya, dulu adalah waktu saya masih sekolah di Technische Hooge School.

"Sudah lupa kau dengan tatakrama Batak, Cok?"
"Tidak, Amang," kali ini rasanya sulit untuk melakukan ajaran Juffrouw Magda Peters bahwa saya harus memandang lawan bicara, supaya mengerti sedalam-dalamnya maksud pembicara. Tapi dengan Bapak, tidak, saya sama sekali tidak mampu.
"Tamu yg barusan itu Tulang mu. Jangan kau perlakukan dia seperti teman! Selalu tempatkan Tulang di akhir kalimat sebagai penghormatan. Apa artinya kamu sekolah tinggi kalau lupa adat"
"Sahaya, Amang"
"Terus ... masih kau berhubungan dengan wanita Sunda itu?"
Dengan tamu baru kenal yang kebetulan semarga dengan mama saja saya diharuskan menggunakan kata ganti Tulang, kenapa Kokom jadi wanita Sunda? Ingin sekali saya berteriak: namanya Kokom Karta, Bapak, namanya Kokom Karta. Belum seharmal kembali ke rumah ini, Bapak lagi-lagi ngatur dengan siapa saya seharusnya berpacaran, agar tidak berkepanjangan saya jawab, "Tidak, Amang"
"Bagus. Sekarang mari makan. Masih makan babi, kau?"

- cukup -

Di atas adalah cerita rekaan saya, boleh dikata saya berusaha nyama-nyamain isi dan gaya menulis Pramoedya Ananta Toer di Bumi Manusia. Saya serasa dibawa ke jaman Hindia Belanda dengan kaca mata merek Minke. Mengagumi Nyai Ontosoroh yang seolah-olah ada. Annellis yang manja dengan polemik jiwa yang sungguh membuat ku berairmata.

Tuesday, February 21, 2006

Atas Nama Hasrat

Semua berasal dari satu gerakan
Semua berawal dari gerak sel abu-abu
Sewujud nyawa terbentuk dari entah apa
Janin ketulusan dalam ketuban tubuh mortal

Adalah satu masa yang mengajarinya waktu
Adalah tubuh yang mengajarinya peluh
Merubah wujud menjadi harapan angkuh
Meronta berlebih atas nama hasrat
Mengais kepuasan menamakan ke a ba di an

Tidak adakah yg melihat?
Betapa ketulusan bisa menjadi teramat konyol

(San Doeru A-203, 21 Februari 2006)

Tuesday, February 14, 2006

I love you, Mom

“Kamu itu dari kecil memang seperti itu,” matanya nggak lepas dari gabungan bumbu-bumbu yg sedari tadi digerus dengan coet dan mutu yg terbuat dari batu, “Ngelamun, ngurung di kamar, kamu jarang cerita ke siapa pun di rumah ini setiap kali punya masalah. Kamu masih inget waktu SMP dulu? butuh tanda tangan ayahmu untuk kompensasi skorsing karena perkelahian sekolah. Kamu nggak cerita, kamu ngelamun semaleman, untung guru mu nelpon ke sini. Tolong garamnya … Atau kamu masih inget waktu kecil dulu, ayahmu ngehadiahin sandal kulit merek apa itu dulu, Bata? terus dalam sehari hilang karena kamu lupa mengenakannya sehabis main bola di pekarangan Haji Somad yg sekarang rubah jadi kontrakan pegawe pabrik itu. Kamu ngelamun, kamu ngurung di kamar, kamu nggak cerita kalau sandal kulit itu sudah hilang. Apa juga yg kamu takutin dari ayahmu untuk ngomong sandal kulit itu hilang … Bumbunya sudah siap.” Saya bantu ibu berdiri dari posisinya “Terus, jangan lupa masukkan pala kalau suatu waktu kangen makan masakan seperti ini di Jepang sana. Di sana ada pala?” Saya menggeleng dan tersenyum. “Liat badan mu, saiki wis guede melebihi badan ayahmu, udah jadi wong pinter dengan titel yg mamah sendiri ora ngerti opo, tapi kamu masih saja seperti dulu, ngak mau cerita. Ayahmu memang keras, nak, tapi bukan berarti nggak bisa ngerti.”

I love you, Mom